Pages

Selasa, 09 November 2010

Bergaya Militer Untuk Kedisiplinan

Rabu, 10 Maret 2010

Untuk meningkatkan kedisiplinan, pendidikan ala militer kerap diadopsi. Namun dalam pelaksanaannya, hal itu memiliki ekses negatif berupa tindakan kekerasan verbal maupun fisik.

Pendidikan ala militer kerap menjadi pilihan sejumlah lembaga pendidikan, baik yang berada di bawah naungan kementerian maupun swasta.

Mengadopsi tata cara militer dalam keseharian proses belajar mengajar hingga cara berpakaian yang militeristik pun menjadi pemandangan sehari-hari.

Bukan hal aneh jika para siswa di sejumlah lembaga pendidikan tertentu diberikan jenis pakaian seragam dengan kelengkapan mirip atribut militer.

Tata cara yang mewajibkan para junior untuk memberikan hormat kepada seniornya seperti pada sistem pendidikan militer juga diberlakukan.

Bahkan, istilah yang digunakan seperti taruna untuk siswa laki-laki dan taruni untuk siswi perempuan pun menjadi hal lumrah.

Di Indonesia, ada sekitar 20 lembaga pendidikan tinggi yang dikelola sejumlah kementerian. Beberapa di antaranya berstatus kedinasan, sebutlah seperti Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri, Institut Intelijen Negara (IIN), dan sejumlah sekolah-sekolah kedinasan lainnya.

Umumnya, sekolah-sekolah kedinasan ini memang menerapkan pola-pola pembinaan menyerupai militer. Tujuannya kerap dikaitkan dengan dalih mewujudkan disiplin tinggi kepada para siswanya.

Namun pada praktiknya, sekolah- sekolah kedinasan dengan penerapan pola-pola pembinaan menyerupai militer tersebut justru memunculkan stigma negatif di kalangan masyarakat, yakni kesan praktik-praktik kekerasan terhadap para siswa yang dilakukan senior kepada juniornya.

Rangkain peristiwa kekerasan yang terjadi di beberapa sekolah kedinasan seperti yang kerap terjadi di IPDN serta sejumlah kasus kekerasan lainnya terhadap para taruna sekolah kedinasan, justru melengkapi stigma kekerasan di mata masyarakat.

Satria Darma, Ketua Klub Guru Indonesia, menilai kekerasan yang kerap diidentikkan dengan sekolah kedinasan yang menerapkan sistem pendidikan semimiliter dalam pola pendidikannya, merupakan ekses atau akibat dari pemahaman yang salah tentang pola kedisiplinan yang ingin dibangun di sekolah tersebut.

“Kedisiplinan yang akan dibangun seperti apa, itu yang harus didefi nisikan terlebih dahulu. Tujuan dari pendidikannya seperti apa,” katanya.

Selama ini, adopsi pola-pola pendidikan militer di sekolah kedinasan memang lebih ditujukan untuk membentuk kedisiplinan di antara para siswa serta sejumlah nilai-nilai positif lainnya. Seperti kebersamaan antara angkatan karena adanya perasaan senasib sepenanggungan selama menjalani pendidikan maupun semangat loyalitas yang dibangun.

Ambil contoh IPDN. Sebagai sekolah yang akan mencetak para birokrat, sikap-sikap disiplin dan loyalitas memang menjadi salah satu poin penting ketika mereka menjalankan tugas nantinya.

Namun dalam praktiknya, menurut Satria, terjadi pemahaman tentang kedisiplinan yang berlebihan sehingga yang muncul adalah stigma kekerasan di sekolah tersebut.

“Untuk membina ketegasan dan kedisiplinan tidak perlu menggunakan kekerasan. Buat tugas dengan waktu yang dibatasi dan ada sanksi bagi yang tidak selesai,” ujar Satria. “Dan kalau memang ingin membina mental, bukan dengan cara dimaki atau malah dipukuli.

Tapi berikan dengan nada ketegasan dan kalau memang ingin menempa fisik, lakukanlah tanpa kekerasan misalnya dengan push up, baris-berbaris.

Kekerasan fisik dan makian hanya akan memunculkan dendam yang tidak akan selesai turun-temurun,” katanya.

Ading Sutisna, Kepala Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Indonesia juga menilai ada pemahaman yang salah selama ini tentang nilai-nilai kedisiplinan yang kerap dikaitkan dengan pendidikan militer.

Karenanya, menjadi wajar jika sekolah-sekolah kedinasan selain Akademi Kepolisian (Akpol) maupun Akademi Militer (Akmil) mengadopsi pola-pola pendidikan militer dalam pendidikan mereka.

“Ini sudah berlangsung lama, apalagi secara kesejarahan kita yang militeristik, kemudian menyuburkan praktik pendidikan semimiliter dalam sekolah-sekolah kedinasan,” katanya. Nilai–nilai kemiliteran erat dikaitkan dengan nilai-nilai kedisiplinan, karenanya kerap diadopsi.

Namun nilai milter yang cenderung tidak mengenal demokrasi dan menghilangkan nilai-nilai partisipasi inilah ketika diimplementasikan dalam pelaksanan pendidikan justru memunculkan sisi kekerasan saja.

“Dan ini tidak pernah direformasi,” tambahnya. Padahal, menurutnya, kedisliplin an tidak harus dibangun dengan kekerasan, namun cukup dengan penanaman nilainilai kedisiplinan yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik oleh para siswa, pemangku kegiatan sekolah, dan para staf pengajar di sekolahsekolah tersebut.

Implementasi nilai-nilai kedisiplinan ini pun membutuhkan keteladanan untuk bisa membangun budaya disiplin yang tinggi bagi para siswanya.

Hal ini tanpa harus menempa mereka dengan aksi-aksi fi sik yang justru memicu stigma kekerasan dalam masyarakat.

Dalam merumuskan kedisiplinan berdasarkan pada penanaman nilai-nilai, juga membutuhkan sebuah mekanisme lain selain keteladanan, yakni adanya konsep reward and punishment terhadap setiap tindakan yang dilakukan, sehingga para siswa sadar betul dengan apa yang mereka lakukan.

Kurang Transparan Munculnya stigma kekerasan pada pendidikan kedinasan di mata publik, menurut Ading, juga terkait dengan manajemen dari pelaksanaan sekolah itu sendiri.

Dalam hal ini adalah macetnya sistem pengawasan yang terjadi di dalam internal sekolah tersebut. “Manajemen sekolah lebih bersifat tertutup, tidak transparan, sehingga justu yang muncul adalah kasus-kasus kekerasan,” katanya.

Mekanisme kontrol menjadi macet akibat kontrol yang dilakukan tidak melibatkan pada partisipasi masyarakat seperti yang terjadi di lembaga perguruan tinggi dengan majelis wali amanat ataupun semacam komite sekolah untuk pendidikan dasar hingga menengah. “Pengawasan hanya dilakukan di internal dan ini membuat mereka tidak terpantau dari luar,” katanya.

Ke depan, diperlukan sebuah mekanisme pengawasan yang lebih terbuka dengan melibatkan partisipasi publik atau masyarakat dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Sehingga, praktik-praktik kekerasan yang dianggap sebagai bagian dari pendisiplinan bisa diawasi. “Sekolah-sekolah kedinasan harus bisa lebih terbuka kepada publik untuk ikut dalam proses pengawasan,” katanya.
nik/L-1

Tidak ada komentar: